Jumat, 30 Juli 2010

M-A-S-A-K-O


“Mak…. Aku malu. Kenapa namaku ‘Masako’? Kayak bumbu masak aja? Masa orang desa namanya Masako? Kenapa Mak?” Tanyaku sore itu dengan sedikit merengek.

Emakku menatapku dengan wajah dingin. Tatapan beku dan tak ada secuilpun kalimat mengalir untuk menjawab pertanyaanku.

“Emak… Aku cuman pengen tahu, kenapa namaku Masako?” Aku bertanya lagi dan emakku tetap seperti biasanya, hanya diam. Dia sibuk dengan adonan untuk membuat bakso. Aku masih ingin terus bertanya, tapi emak masih saja menguleni adonan yang akan dibentuk menjadi bulatan bulatan bakso. Baginya lebih penting bakso itu dari pada pertanyaanku. Memang, dengan membuka warung bakso di depan rumah inilah, emakku bisa membiayai hidupku.

Tapi aku masih saja penasaran, kenapa namaku Masako? Kenapa bukan Sinta, Indah, Dewi ataukah Surtiah? Tiba tiba saja ibu berhenti membuat bakso dan berkata, “Ya sudah, kalau begitu besok kamu emak panggil Santi. Puas?”

Sejak saat itu aku tak pernah lagi menanyakan kepada emak, kenapa namaku Masako. Tapi, semakin beranjak besar aku semakin penasaran. Emakku semakin membisu. Saat dia menatap wajahku, dia seperti mengingat kejadian di masa lampau yang begitu menusuk hatinya. Sama sekali aku tak pernah mendengar asal muasalku dari mulut emakku. Justru aku dengar dari mulut mulut nyinyir yang entah mereka mendapatkan berita itu dari mana? Dari berita itu yang kudengar, bapakku seorang Jepang yang meniduri emakku. Aku lahir tanpa dikehendaki kedua orang tuaku. Aku ini anak haram!.Ada yang mengatakan, ibuku dulu seorang JUGUN IANFU. Ketika masih muda dia ditangkap Jepang, dan harus melayani nafsu tentara jepang setiap hari. Dan salah satu dari mereka membuahi rahim ibuku, maka jadilah aku. Tapi itu tak mungkin. Emakku lahir sekitar tahun 60-an.Aku lahir 80-an, dan Jepang hengkang dari Indonesia tahun 1945. Apakah mungkin emakku seorang Jugun Ianfu?

Dari mulut nyinyir itu, aku dengar sebuah kisah. Dulu hidup emakku sangat melarat. Emak pergi ke kota untuk melacur. Tapi ada satu orang yang bercerita padaku tentang emakku dan kali ini beritanya berbeda dari berita berita yang sudah ku dengar. Mak Sunar menceritakan betapa simpatiknya emakku. Suatu ketika ada seorang paruh baya datang ke kampung dan menawarkan pekerjaan yang menggiurkan gajinya. Dalam pikiran emakku, pekerjaan ini akan mengangkat keluarganya dari kemiskinan. Maka berangkatlah emakku yang tak mengetahui kalau pekerjaan yang dijanjikan itu adalah pekerjaan nista.

“Saat itu, emakmu berjuang untuk menghidupi keluarganya, nduk….”

“Tapi kenapa emak mau?”

“Emakmu harus mau. Kalau tidak, makan apa keluarganya?”

Mak Sunar terus menceritakan tentang emakku. Dukun beranak yang menyelematkan emakku saat melahirkanku ini sudah tua. Tapi meskipun tua, beliau terlihat sehat dengan giginya yang masih utuh dan berwarna kemerahan karena mengunyah sirih dan tembakau.

Emakku, masih cerita dari Mak Sunar, pernah tinggal di kota. Disanalah dia mengenal bapakku. Bapakku memerlukan emakku hanya sebagai tempat membuang lendirnya saja. Hampir setiap saat. Sampai sampai emakku hanya dipakai oleh bapakku saja. Tak ada lelaki lain. Emakku hamil. Dan bapakku kembali pulang ke Jepang, sementara emakku pulang dengan keadaan perut membesar. Emak melahirkan di kampung dan tak pernah kembali lagi ke kota.

####

Suatu hari, datanglah empat lelaki bertkulit putih dan bermata sipit, ke gubug kami. Emak menemui mereka sementara tetangga pada ramai memenuhi halaman rumah kami. Para tetangga sibuk dengan gunjingan baru. Emakku menerima tamu dan menjual tubuhnya untuk keempat tamu istimewa ini.
Emak tenang sekali menghadapi mereka. Aku sama sekali tak paham bahasanya. Emak berbisik padaku, kalau para tamu ini semua dari Jepang. Aku terus mengamati mereka satu persatu dan membandingkannya dengan diriku. Jangan jangan, salah satu dari mereka adalah bapakku. Emak sesekali menjawab pertanyaan mereka. Aku terus sibuk mereka reka apa yang mereka bicarakan. Tiba tiba saja air mata emak meleleh.

“Bapakmu meninggal Sako…” suara lirih emakku memenuhi gendang telingaku.

Aku tertegun, bingung. Baru pertama kali emak mengatakan satu hal tentang bapakku. Tapi sayang beliau sudah meninggal. Emak lalu bercerita, bapakku sakit keras. Selama beliau sakit, ingin sekali berliau bertemu anaknya yaitu aku. Bapakku bernama Ichiro Ushida. Usianya dua kali lipat emakku. Ketika di kota, emakku jadi pembantu rumah tangga di rumah Ichiro. Kemudian statusnya meningkat menjadi istri kedua. Sayangnya, Ichiro tak mau punya anak. Dia meminta emakku untuk menggugurkannya. Tapi emak menolak dan memilih pulang. Ichiro berpesan, bila anaknya lahir agar diberi nama Masako. Emak setuju dan pulang ke kampung dengan perut besar. Sementara Ichiro dengan istri pertamanya, tak mempunyai anak. Di akhir hayatnya, Ichiro menepati janjinya mencari aku dan emak. Menjelang ajalnya, dia menulis wasiat, memberikan seluruh hartanya untukku.

Dalam sekejap hidupku berubah. Kami sangat kaya. Rumah kami yang hanya berdinding bambu, kini megah dengan dinding batu. Perabotan berubah, semua dari kayu jati. Ibu membeli dua buah ruko dan membuka cabang warung bakso disana. Tak terdengar lagi mulut nyinyir seperti dulu. Sikap tetanggaku berubah drastis. Teman temanku yang dulu memanggilku si anak haram, kini berubah total menjadi baik padaku. Kekayaan telah menyulap segalanya. Kehormatan dan martabat bisa datang jika kita berlimpah materi. Itu yang membuatku semakin teriris. Pandangan hidup masyarakat kita ternyata masih lekat sekali dengan yang namanya MATERI.

^_^

2 komentar:

  1. hmm, pernah baca, tp lupa kapan and dimana.. Jd apa kesimpulan selanjutnya nie..

    BalasHapus
  2. kesimpulannya... MATERI bukan segala-galanyaa (*gampang banget saya berkata-kata)
    wkwkwkwk ^_^

    BalasHapus